no copas

Jumat, 13 Januari 2012

Rileks tapi tidak santai

Rileks Tapi Tidak Santai



Selain memiliki sifat serius tapi tidak tegang, sifat lain yang dimiliki Yesus adalah rileks tapi tidak santai. Secara sepintas kedua sifat ini kelihatannya sangat kontradiksi satu dengan lainnya, padahal kenyataannya tidak demikian. Sebelumnya sudah dibahas bahwa sifat serius tidak tegang yang membuat Yesus dapat mencapai visi tertinggi organisasi-Nya, sedangkan sifat rileks tapi tidak santailah yang membuat Yesus tetap eksis dalam kepemimpinan-Nya. Melalui sikap ini, Ia bisa menikmati setiap bagian yang ada di dalam organisasi-Nya.

Seorang pemimpin yang menanamkan sikap rileks ini, akan membuat orang-orang disekitarnya merasa aman dan nyaman bersamanya, tidak merasa seperti orang yang bersalah yang sedang diperhadapkan kepada hakim yang siap menjatuhkan hukuman, dan tidak ada cengkraman rasa takut yang ditimbulkan orang yang memiliki sikap ini. Bukan berarti sikap rileks yang dimiliki seorang pemimpin membuat kepemimpinannya seperti tidak benar atau menjadi sembarangan, juga bukan berarti para bawahan dalam organisasi menjadi tidak memiliki ketidak teraturan dan tidak mempunyai target-target tertentu, malahan dengan sikap ini pemimpin memiliki keleluasan untuk mengembangkan organisasinya.

Pemimpin yang dapat menciptakan sikap rileks dapat mencairkan suasana dan dapat meregangkan ketegangan yang memang sering ada di dalam kepemimpinan; akibat berbagai problema atau disebabkan aktivitas yang sedang dikerjakan belum memperoleh solusi atau belum mencapai keberhasilan. Suasana dan sikap rileks dapat menolong dan dapat membuat orang berpikir lebih baik dan jernih, baik untuk pencarian jawaban atas suatu persoalan maupun untuk mendapatkan suatu gagasan baru yang dapat dimanfaatkan untuk keberhasilan sebuah organisasi.

Tidak ada resep istimewa ataupun metode khusus bagaimana supaya seorang pemimpin dapat menciptakan suasana dan sikap rileks dalam kepemimpinannya, sebab sikap ini tidak dapat direkasaya atau sekedar dipelajari saja, tetapi dibentuk dengan pengkondisian yang dikerjakan secara terus- menerus.

Segala perkara dapat di selesaikan

Satu hal penting yang perlu di ketahui pemimpin untuk dia dapat menciptakan kerileksan, adalah dengan menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada suatu perkara dimana Allah tidak memiliki jalan keluar untuk menyelesaikannya. Memiliki pemahaman bahwa Allah selalu memberikan jalan keluar bagi setiap perkara, bukan berarti membuat pemimpin santai atau berpangku tangan tanpa melakukan sesuatu, melainkan ini yang memacu dia untuk giat melakukannya tanpa menimbulkan stress bagi dirinya, sebab ia melakukannya dengan sikap rileks tapi tidak santai.


Mewujudnyatakan berbagai hal

Dalam banyak situasi yang dihadapi-Nya, Yesus sering memperlihatkan dan mengaktualisasikan sikap rileks-Nya terhadap para pengikut-Nya, orang lain ataupun orang banyak. Yesus pernah mengajar murid-murid-Nya sambil memetik gandum, padahal apa yang diajarkan-Nya pada saat itu adalah hal yang penting yaitu mengenai hari Sabat (Matius 12: 1-8), mengajar firman Allah kepada orang banyak sambil duduk diatas perahu (Lukas 5:1-11), melayani perempuan Samaria di pinggir sumur padahal pelayanan-Nya itu menyangkut tentang pertobatan dan tentang bagaimana supaya perempuan Samaria itu memperoleh keselamatan, sepertinya tidak ada tempat yang lebih pantas yang dapat dipakai Yesus untuk melayani wanita ini (Yohanes 4), membela perempuan berzinah sambil melukis-lukis ditanah padahal hidup atau matinya, dirajam atau dibebaskannya wanita ini tergantung dari jawaban yang Yesus berikan terhadap orang Farisi dan ahli Taurat yang membawa perempuan itu.

Tidak hanya itu saja tujuan mereka memperhadapkan perempuan itu kepada Yesus adalah untuk mencobai Yesus, supaya mereka dapat menemukan sesuatu untuk mempersalahkan-Nya. Ini menandakan keadaan yang dihadapi Yesus bukan keadaan biasa melainkan keadaan yang genting, baik bagi perempuan itu maupun bagi diri Yesus sendiri.

Bila pemimpin lain diperhadapkan dengan situasi seperti ini, pasti mereka sudah kebingungan dan kewalahan dan tidak menutup kemungkinan mereka bisa stress menghadapinya. Tetapi lain halnya dengan Yesus, Dia tetap kelihatan rileks, Ia terus menulis di tanah, dengan rileks ia menjawab mereka, kata-Nya: “Kalau ada diantara kamu yang merasa tidak berdosa, baiklah ia yang pertama melemparkan batu kepada wanita itu.”

Tentu saja tak seorangpun berani melemparkan batu terhadap wanita itu, sebab mereka menyadari bahwa mereka semua berdosa bahkan dosa mereka lebih banyak dari dosa perempuan itu. Akhirnya satu persatu mereka meninggalkan perempuan itu. Setelah mereka semuanya pergi, tinggallah Yesus dan perempuan itu, dengan rileks Yesus berkata kepadanya: “Bila mereka tidak menghukum engkau apalagi Aku? Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi.” (Yohanes 8:1-10).

Bila semua keadaan aman dan situasinya kondusif, lalu para pemimpin bisa rileks, itu adalah hal yang wajar, tetapi bila situasi gawat dan kritis, pemimpin bisa rileks, itu baru luar biasa. Inilah kelebihan pemimpin yang memiliki sikap rileks, dimana mereka masih dapat tenang dalam menghadapi situasi genting dan kritis, bisa beristirahat sementara pemimpin lainnya sudah kebingungan, masih bisa tertawa sementara yang lainnya untuk tersenyum saja sulit.

Kegagalan yang pernah dilakukan John G. Lake. Seorang pahlawan iman yang luar biasa dipakai Tuhan pada era 1800-an, bahwa ia terlalu memorsir dan memaksa dirinya untuk pelayanan dan untuk menyelamatkan jiwa yang terhilang, sehingga dia lupa meluangkan waktunya untuk rileks bagi dirinya, terutama untuk keluarganya, istri dan anak-anaknya. Akhir pelayanannya menjadi sangat menyedihkan, lebih memprihatinkan lagi keluarganya dan rumah tangganya menjadi berantakan. Salah seorang anaknya pernah mengatakan: “Sikap ayah terhadap kami (keluarga), tidak ada bedanya dengan sikap ayah terhadap pelayanan, padahal kami adalah keluarganya yang membutuhkan dia tidak hanya sebagai pendeta, melainkan sebagai bapa bagi kami.”

Dapat menikmati banyak hal dalam kepemimpinan

Seperti yang sudah saya singgung diawal bahwa pemimpin yang bisa rileks adalah pemimpin yang dapat menikmati bidang-bidang dalam kepemimpinannya dan tidak mau tertekan dengan segala persoalan yang ada. Pemimpin yang memiliki sikap rileks selalu berpinsip bahwa hidup adalah untuk dinikmati dan dilakoni, tidak hanya untuk dipikiri.
Rileks tapi tidak santai, sikap inilah yang seharusnya dimiliki pemimpin masa sekarang itu, dimana perlu untuk mengantisipasi kompleksnya permasalahan di dalam dunia ini yang memang cenderung membuat orang stress. Sebagamana Yesus sebagai Pemimpin Sejati sudah menerapkannya, demikian kita meneladaninya.

Serius tapi tidak tegang

Serius Tapi Tidak Tegang



Setiap aspek yang kita lakukan dalam kehidupan ini membutuhkan keseriusan. Apapun bentuk dan jenis aktifitas serta pekerjaan kita, akan mencapai keberhasilan bila dilakukan dengan serius. Mimpi-mimpi yang indah, cita-cita yang bagus, aspirasi-aspirasi yang brilian jarang terwujud dan sering tidak terwujud karena kurangnya keseriusan dalam mengerjakannya.
Besar atau kecilnya keberhasilan kita ditentukan oleh seberapa serius kita menekuninnya. Semakin kita serius, maka peluang untuk berhasil bertambah besar dan akan lebih cepat kita peroleh, sebaliknya bila keseriusan kita berkurang maka peluang untuk berhasil lebih kecil dan lebih lama kita memperolehnya.

Dalam hal ini saya bukan bermaksud mengabaikan peranan kasih karunia Allah didalam kehidupan kita, termasuk untuk membuat kita mencapai keberhasilan. Namun bukan berarti karena seluruh hidup ini merupakan kasih karunia, kita tidak perlu lagi serius di dalam hidup ini, sebaliknya kasih karunia itu memacu kita untuk meningkatkan keseriusan.

Dalam 1 Korintus 15;10 Rasul Paulus menyampaikan firman Allah demikian:

Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidaklah sia-sia, sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua, tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku.

Rasul Paulus menyatakan sepenuhnya tahu akan arti pentingnya kasih karunia itu di dalam hidupnya. Itu yang membuat dia bisa bekerja keras melebihi para rasul yang lain, sebab kasih karunia Allah menyertai dia.

Kebenaran inilah yang seharusnya dimiliki oleh para pemimpin khususnya pemimpin Kristen di dalam kepemimpinan mereka, dimana melalui kasih karunia Allah mereka boleh menjadi pemimpin yang memiliki keseriusan dan melalui kasih karunia itu pula tingkat keseriusan mereka bisa mencapai puncaknya sehingga mereka dapat meraih keberhasilan yang sangat maksimal dan tidak terbatas.

Dalam dunia kepemimpinan keseriusan mengambil tempat yang strategis dan sangat dibutuhkan, terutama untuk mencapai keberhasilan yang diharapkan, dan itu dimulai dari dalam dan melalui diri pemimpin. Sikap yang serius dari seorang pemimpin akan sangat mempengaruhi dinamika dan progresivitas kepemimpinannya.

Pemimpin yang serius tidak diukur hanya berdasarkan kapasitas pengetahuan-Nya atau kefasihan berbicara, tetapi diukur dari seberapa besar usaha dan seberapa banyak waktu, tenaga, materi bahkan kehidupan yang sudah ia berikan dan korbankan untuk meraih dan mencapai visi kepemimpinannya.

Yesus sendiri menyadari peranan kasih karunia ini dalam kepemimpinan-Nya, lebih dari itu Dia sendiri merupakan perwujudan dari kasih karunia, tetapi hal tersebut tidak membuat Yesus jadi kurang memiliki sikap serius, sebaliknya semakin Dia menyatakan bahwa Diri-Nya adalah kasih karunia itu, maka tingkat keseriusan-Nya pun menjadi tidak terbatas.

Mempersiapkan diri-Nya menjadi pemimpin

Bila dilihat dari kebenaran firman Tuhan bahwa Allah sendirilah yang mempersiapkan Yesus menjadi pemimpin, dimana waktu yang dibutuhkan Allah untuk menjadikan diri-Nya sebagai Pemimpin lebih kurang tiga puluh tahun, seperti yang disampaikan dalam Lukas 3:23:

Ketika Yesus memulai pekerjaan-Nya ia berumur kira-kira tiga puluh tahun.

Tiga puluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk Yesus mempersiapkan diri sebagai Pemimpin Sejati, sekalipun itu belum termasuk sebagai waktu terlama yang memecahkan rekor dalam mempersiapkan seseorang jadi pemimpin, sebab masih ada nabi Musa yang menghabiskan waktu 40 tahun di Mesir dan 40 tahun lagi di padang Gurun, lamanya waktu Allah maempersiapkan Musa sebagai pemimpin adalah 80 tahun.

Dengan melihat lamanya waktu Yesus dipersiapkan, membuktikan betapa besarnya tanggung jawab yang akan dipikul-Nya bila Ia menjadi Pemimpin. Tentu saja tanggung jawab yang sangat besar ini membutuhkan keseriusan yang sangat besar pula bahkan bisa dikatakan keseriusan yang mutlak dari Yesus sendiri sebagai pribadi yang dipersiapkan untuk menjadi Pemimpin, sebab ini menyangkut bukan hanya untuk kepentingan beberapa pribadi atau beberapa kelompok atau satu bangsa saja, melainkan mencakup seluruh dunia ini.

Selama 30 tahun Yesus mempersiapkan dengan serius seluruh hidup-Nya, baik terhadap persiapan fisik-Nya Yesus serius, wawasan-Nya terus-menerus diperluas-Nya, mental-Nya supaya semakin teruji, hubungan sosial terus dijaga untuk tetap baik dan benar, spiritual-Nya untuk terus berkenan dan menyukakan hati Allah.

Hasil keseriusan Yesus dalam mempersiapkan seluruh hidup-Nya ditulis dalam Lukas 2: 52:

Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.

Itu semua dicapai-Nya dengan membayar biaya dan harga yang mahal yaitu sikap serius yang sudah mencapai titik tertinggi.

Puncak ujian apakah Yesus serius atau tidak dalam mempersiapkan diri-Nya sebagai Pemimpin adalah di padang Gurun. Disana seluruh eksistensi hidup Yesus diuji selama 40 hari 40 malam, baik secara jasmani, dimana Yesus dicobai iblis supaya membuat batu menjadi roti, dan Yesus menjawab bahwa manusia hidup bukan dari roti saja melainkan dari seluruh firman yang keluar dari mulut Allah (Mat 4:4).

Kemudian secara mental iblis mencobai-Nya supaya Yesus menjatuhkan diri-Nya dari bubungan bait Allah, dengan mengutip Mazmur 91:11-12 iblis mencoba meyakinkan Yesus bahwa malaikat-malaikat-Nya akan menatang-Nya, supaya kaki-Nya tidak terantuk kepada batu, tapi Yesus menjawab supaya iblis tidak mencobai Tuhan Allah (Mat 4:7). Disini Yesus mau menyatakan kepada iblis bahwa mental-Nya bukan mental mencobai; yang meragukan Allah melainkan mental yang sepenuhnya meyakini Allah. Yesus lolos dalam ujian mental.

Terakhir Yesus dicobai secara spiritual; iblis memperlihatkan kepada-Nya segala kemegahan dunia ini dan iblis berkata semua itu dapat diberikannya bila Yesus mau menyembahnya, tapi Yesus menjawab bahwa semua makhluk harus menyembah Tuhan Allah dan hanya berbakti kepada-Nya saja (Mat 4:10). Yesus lolos dalam ujian spiritual. Berhasilnya Yesus diuji di padang Gurun membuktikan bahwa diri-Nya serius untuk menjadi Pemimpin Sejati.

Melasanakan kepemimpinan-Nya

Tidak hanya ketika mempersiapkan diri-Nya sebagai pemimpin saja Yesus serius. Dalam melaksanakan kepemimpinan-Nya di bumi ini selama 31/2 tahun, Ia juga serius. Ketika Dia menyampaikan pengajaran baik kepada murid-murid-Nya dan kepada orang lain maupun kepada orang banyak yang dilakukan-Nya di tempat terbuka, seperti dilapangan-lapangan, di tepi danau atau ditepi pantai ataupun di daerah perbukitan Yesus tetap serius. Tempat atau situasi tidak mengurangi atau membatasi keseriusan-Nya.

Ketika Dia menyembuhkan orang dari berbagai jenis penyakit yang diakibatkan roh-roh jahat, yang dibawa sejak lahirnya atau dideritanya setelah menjalani kehidupannya ataupun karena kecelakaan, semuanya Yesus kerjakan dengan sangat serius.

Bukan karena diperhadapkan kepada penyakit yang biasa atau ringan seperti demam yang pernah diderita oleh mertua Petrus (Matius 8: 14-17), lantas membuat Yesus kurang serius, sebaliknya bila yang diperhadapkan dengan penderita penyakit yang parah dan akut seperti yang dialami oleh wanita yang sakit pendarahan selama 12 tahun (Matius 9: 18-26) atau orang yang menderita sakit di kolam Betesda selama 38 tahun (Yohanes 5 :1-18), baru Yesus menunjukan keseriusan-Nya. Apapun jenis penyakit, seberapa pun tingkat keparahannya, sudah sampai stadium berapa pun penyakit yang diderita orang tersebut, tidak jadi penentu keseriusan Yesus.

Ketika mengadakan mujizat terhadap alam seperti meredakan angin ribut (Matius 8: 23-27); terhadap tumbuh-tumbuhan, seperti mengeringkan pohon ara (Matius 21: 18-22); terhadap hewan, seperti mengeluarkan mata uang dari mulut ikan untuk membayar pajak (Matius 17: 24-27); terhadap manusia, seperti membangkitkan orang mati (Lukas 7: 11-17), Yesus senantiasa menunjukan keseriusan-Nya.

Demi mempertahankan keseriusan-Nya. Ia sering tidak makan, sedikit istirahat, tapi Ia tidak memusingkannya. Ia rela mengalami fitnahan, pukulan, hinaan dan penderitaan yang sangat berat, dimana manusia yang pernah hidup sebelumnya dan sesudah Yesus tidak pernah mengalaminya. Klimaks keseriusan Yesus nyata dan terbukti ketika Ia menggenapi visi tertinggi dan termulia-Nya, yaitu rela mati dikayu salib memberikan nyawa dan hidup-Nya demi keselamatan seluruh manusia.

Tidak ada satu ayat pun di dalam Alkitab mengenai Yesus yang isi kalimat-Nya
menyangsikan keseriusan-Nya, melainkan sudah sangat banyak jumlah ayat di dalam Alkitab yang dapat dikutip untuk menyatakan keseriusan Yesus. Apapun yang diperbuat-Nya, Yesus pasti serius. Inilah tipe pemimpin yang dirindukan setiap orang, setiap kelompok dan semua bangsa.

Secara jujur diakui ada sebagian pemimpin yang tidak serius dalam melaksanakan kepemimpinannya, atau pemimpin yang hanya serius memproklamirkan semua program kerjanya, namun tidak begitu serius untuk melakukan dan merealisasikannya. Model pemimpin seperti ini tidak akan pernah melihat hasil maksimal dan memuaskan dalam organisasinya. Bagaimana mungkin dia dapat motivasi dan menggerakan bawahannya untuk memperoleh hasil yang maksimal, bila dirinya sendiri belum atau kurang serius melakukannya. Inilah kesalahan yang sering dan masih dilakukan berulang-ulang oleh para pemimpin sekarang.

Kendati semua yang dilakukan Yesus membutuhkan keseriusan, tapi itu tidak membuat diri-Nya, para pengikut-Nya, atau orang lain kepada suasana yang menegangkan. Yesus serius tapi tidak tegang.

Tegas tapi tidak kasar

Tegas Tapi Tidak Kasar


Ketegasan dalam kepemimpinan merupakan salah satu sikap yang sangat berperan dan mengambil posisi yang vital dalam diri seorang pemimpin. Ketegasan dapat memicu pergerakan dan kemajuan para pengikut dan organisasi untuk mencapai kesuksesan maksimal secara bersama-sama. Ketegasan membuat pengikut atau bawahan yang kurang kreatif menjadi kreatif dan sangat kreatif, membuat pengikut yang pasif menjadi aktif bahkan proaktif, mereka yang setengah hati menjadi serius dan sungguh-sungguh.

Ketegasan laksana barometer dalam kepemimpinan, bila ketegasan kendor atau dilenturkan, kepemimpinan cederung mengalami banyak kendala baik dari dalam maupun dari luar organisasi, yang akan berdampak pada kemajuan dan efektifitas suatu organisasi, bahkan bila tingkat ketegasan sampai kepada titik diabaikan dan ditinggalkan, kepemimpinan dapat mengalami kemunduran dan rentan dengan perpecahan yang dapat menjadi awalnya kehancuran sebuah kepemimpinan.

Ada banyak organisasi, instansi, lembaga dan sejenisnya mengalami kemunduran, perpecahan, kebangkrutan hanya karena menghadapi masalah seputar sikap ketegasan. Bahkan sebuah negara pun bisa berantakan, carut-marut bila pemimpin di negara tersebut tidak memiliki ketegasan dalam membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan situasi, dengan rakyat, dengan para petinggi negara atau terhadap persoalan yang sedang di hadapi negaranya.

Ketegasan suatu kepemimpinan sangat dibutuhkan untuk mengadapi segala urusan yang berhubungan dengan segi internal yang meliputi struktur, tugas dan penugasan, tanggung jawab, hak dan kewajiban serta sanksi-sanksi yang berlaku dan juga yang berhubungan dengan segi eksternal yaitu pengembangan, jaringan kerja sama, hubungan dan tanggung-jawab kepada pemerintah serta hal lainnya.

Pengaruh ketegasan akan sangat nyata dan terasa bila kepemimpinan itu mengalami masa kritis dan genting. Disini ketegasan akan memainkan perannya secara maksimal, yaitu untuk menetapkan keputusan dan kebijakan sebagai solusi supaya organisasi itu dapat menghadapi situasi tersebut, yang mana pada akhirnya organisasi itu dapat mengalami pemulihannya kembali.

Yesus sebagai Pemimpin Sejati menyadari penuh pentingnya arti ketegasan itu dalam memaksimalkan seluruh aspek dan pribadi dalam kepemimpinan-Nya

Menanamkan pemahaman yang benar

Dalam Matius 16:22-23 dikatakan demikian:

Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya,Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali tidak akan menimpa engkau, maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus “Enyahlah iblis, engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah melainkan apa yang dipikirkan manusia”

Disini Yesus menegur Petrus tidak hanya dengan ketegasan biasa melainkan dengan ketegasan yang tinggi untuk menanamkan pemahaman yang benar, supaya Petrus menjadi sadar. Ada alasan yang fundamental mengapa Yesus perlu menanamkan pemahaman yang benar bagi Petrus, yaitu:

Pertama, Petrus kurang beretika kepada Yesus sebagai Pemimpin dan Gurunya terlebih sebagai Tuhannya. Dengan perlakuannya menarik Yesus ke samping, yang mana dalam terjemahan lain yang dipakai untuk kata ‘menarik’ ialah menyentak, yang artinya menarik dengan paksa, dan tidak hanya menarik dengan paksa, Petrus juga menegur Dia. Dalam terjemahan NRSV kata yang dipakai untuk ‘menegur‘ ialah ’rebuke’ yang artinya mencela atau memarahi. Jadi Petrus berani memarahi Yesus!

Apa yang dilakukan Petrus itu sudah kelewatan dan diluar batas serta kurang terpuji dan tidak beretika. Untuk menegur atau memarahi teman atau orang lain saja, kita masih berpikir panjang, apalagi kalau kita belum mengetahui secara jelas duduk persoalannya, apalagi memarahi pemimpin. Kita tidak etis bila memarahi pemimpin. Bukan berarti pemimpin tidak pernah keliru atau berbuat kesalahan, tapi etisnya kita menasehatinya, mendoakannya dan bila itu harus, kita menegurnya dengan kasih.

Kedua, Petrus ditegur Yesus dengan ketegasan yang tinggi karena ia tidak memikirkan apa yang dipikirkan dan sudah dirancangkan Allah bagi Yesus, bahwa Dia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari lawan-Nya dan harus mati di kayu salib. Petrus hanya memikirkan apa yang dipikirkan manusia bahwa hal itu tidak akan terjadi pada Yesus. Petrus memakai pikirannya yang terbatas.

Kedua alasan inilah yang menyebabkan Yesus bersikap tegas terhadap Petrus, untuk menanamkan pemahaman yang benar baik tentang etika dan konsep berpikir yang benar dalam menilai segala sesuatu. Kendati Yesus bersikap sangat tegas terhadap Petrus, tapi ia tidak tersinggung atau sakit hati apalagi akar pahit, sebab Petrus tahu, Yesus bersikap demikian, adalah wajar dan tepat. Lebih dari itu Petrus menjadi sadar atas kesalahannya dan mengambil satu pelajaran yang sangat berharga yaitu sekalipun Yesus tegas tapi Ia tidak kasar.

Menyatakan ketegasan kepada pengikut-Nya

Dalam Markus 4:35-41 dikisahkan bagaimana para pengikut-Nya sedang menghadapi angin ribut yang dahsyat yang mengakibatkan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air dan tidak lama lagi pastilah perahu tersebut tenggelam. Ini berarti menandakan mereka sedang menghadapi bahaya yang serius. Tapi uniknya dalam keadaan genting ini, Yesus masih bisa tidur diburitan perahu. Apakah ia benar-benar tidur atau tidak, Alkitab tidak menjelaskan secara rinci. Situasi yang gawat ini membuat mereka panik, kemudian mereka membangunkan Yesus dan komplen kepada-Nya, karena mereka berpikir dan merasa Yesus tidak memperdulikan mereka ketika bahaya mengancam mereka. Lalu Yesus pun bangun dan menenangkan danau sehingga danau itu menjadi teduh sekali, seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Setelah semua keadaan tenang, Yesus dengan tegas menegur mereka menyangkut dua hal:

Pertama: Ketakutan mereka yang berlebihan. Bukankah Yesus ada bersama-sama mereka di kapal? Dan tidak mungkin Yesus membiarkan mereka binasa.

Kedua: Ketidak percayaan mereka. Bukankah selama ini mereka sudah bersama dengan Yesus dan melihat segala perbuatan ajaib yang sudah dilakukan Yesus?

Alasan inilah yang mendorong Yesus menegur mereka dengan tegas, tetapi mereka tidak sakit hati. Bahkan mereka merasa takjub dan sangat terkesan dengan apa yang diperbuat Yesus.

Menyatakan ketegasan kepada keluarga-Nya

Peristiwa ini terjadi ketika Yesus berumur dua belas tahun dimana Yesus dan orang tuanya pergi ke Yerusalem untuk merayakan paskah seperti yang lazim mereka lakukan. Sehabis hari-hari perayaan itu, mereka berjalan pulang tanpa mereka menyadari Yesus masih tinggal di Yerusalem. Orang tua Yesus mengira Ia ada diantara rombongan seperjalanan mereka. Setelah sehari perjalanan jauhnya mereka mencari-cari-Nya diantara kaum keluarga dan kenalan mereka, tetapi tidak menemukan-Nya. Akhirnya mereka kembali ke Yerusalem untuk mencari Yesus. Setelah tiga hari mencari-Nya, mereka menemukan Yesus di Bait Allah di tengah-tengah alim ulama yang mengelilingi-Nya sambil bertanya jawab dengan mereka tentang hukum Taurat.

Semua orang takjub mendengar apa yang disampaikan-Nya, orang tua-Nya sendiri pun tercengang melihat-Nya, lalu mereka menyatakan kecemasan mereka atas diri-Nya karena mereka sudah tiga hari tidak melihat-Nya. Dia menyatakan ketegasan-Nya kepada mereka bahwa seharusnya mereka tidak perlu bersusah payah mencari-cari diri-Nya, apalagi sampai mencemaskan-Nya, karena memang seharusnya ia berada di rumah Bapa-Nya (Luk 2:41-52)

Para pemimpin terdahulu dan sekarang banyak gagal menerapkan ketegasan dalam keluarganya, secara khusus dalam rumah tangganya. Mereka bisa tegas terhadap orang lain tapi tidak tegas terhadap keluarganya, sehingga orang lain melihat ketimpangannya. Keadaan ini bila dipertahankan dapat menjadi bumerang yang bisa menghancurkan kepemimpinan mereka secara perlahan-lahan.

Yesus menyadari bahwa sikap tegas perlu Ia nyatakan terhadap keluarga-Nya. Dia tidak mau keluarga-Nya menjadi batu sandungan di dalam kepemimpinan-Nya, Ia tidak mau menjerumuskan diri-Nya dalam sistim nepotisme yang dapat menghancurkan kepemimpina-Nya.

Begitu pula yang tertulis didalam Matius 12:46-49 dikatakan bahwa:

Ketika Yesus masih berbicara dengan orang banyak itu, ibu-Nya dan saudara-saudara-Nya berdiri di luar dan berusaha menemui Dia. Maka seorang berkata kepada-Nya: “Lihatlah, ibu-Mu dan saudara-saudara-Mu ada di luar dan berusaha menemui Engkau.” Tetapi jawab Yesus kepada orang yang menyampaikan berita itu kepada-Nya: “Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku?” Lalu kata-Nya sambil menunjuk ke arah murid-murid-Nya: “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku. Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.”

Yesus tidak langsung menemui keluarga-Nya. Sebagai Pemimpin Sejati dengan tegas Yesus menyatakan bahwa bukan kepentingan keluarga lebih terutama dari pada kepentingan orang banyak, atau karena mereka itu ibu dan saudara-saudara-Nya, lalu Ia mendahulukan mereka dari orang banyak, itu tidaklah tepat. Bahkan klimaksnya Yesus tegaskan bahwa ibu dan saudara-saudara-Nya adalah mereka yang melakukan kehendak Allah. Bukan berarti Yesus mengabaikan keluarga atau seperti Malin kundang yang mendurhaka terhadap ibunya dengan tidak mengakui ibu kandungnya sendiri.

Yesus mau menyatakan bahwa nilai ketegasan-Nya tidak ditentukan oleh situasi, mood atau tidak moodnya suasana hati-Nya, tidak ditentukan oleh orang lain atau sekalipun oleh keluarga-Nya sendiri, melainkan ditentukan oleh kebenaran Allah. Sebenarnya untuk menyatakan ketegasan bagi keluarga sangat sulit karena langsung melibatkan diri kita sendiri, tetapi sebagai Pemimpin Sejati, Yesus sudah berhasil melakukannya.


Menyatakan ketegasan kepada orang lain

Yesus tidak hanya tegas kepada orang dalam saja (ke12 murid-Nya dan keluarga-Nya ). Dia juga menyatakan ketegasan-Nya terhadap orang lain dengan tidak memilih-milih atau membeda-bedakan orangnya. Dalam Matius 19:16-26 dikatakan:

Ada seorang muda yang kaya yang menanyakan kepadanya apa yang harus diperbuatnya untuk memperoleh hidup yang kekal. Yesus menjawab dia dengan tegas jikalau orang muda itu hendak sempurna, Yesus menyuruhnya menjual harta dan membagi-bagikannya kepada orang miskin, kemudian mengikut Yesus, barulah ia dapat memperoleh hidup yang kekal.

Bukan karena pemuda ini kaya lantas Yesus sungkan untuk menyatakan ketegasan kepadanya, Yesus tetap menyatakan pendapat-Nya dengan tegas terhadap pemuda kaya itu, atau waktu Nikodemus datang kepada-Nya, seorang pemimpin agama Yahudi yang menanyakan secara detail tentang kekekalan, dan bagamana Ia dengan tegas menjawab seluruh pertanyaan yang membuat Nikodemus kagum (Yohanes 3:1-21). Ketegasan Yesus tidak dipengaruhi karena orang itu disegani atau terpandang. Dia tegas karena itu merupakan kebenaran.

Ketegasan Yesus juga nyata kepada orang banyak yang mencari dan menemukan-Nya. Ini berhubungan dengan peristiwa sesudah Yesus mengadakan mujizat dengan memberi makan mereka yang berjumlah lebih kurang 5000 hanya dengan 5 roti dan 2 ikan. Lalu Yesus menegur mereka dengan tegas atas motivasi mereka yang salah dalam mencari Yesus, yang hanya untuk urusan perut dan kemudian menasihati mereka supaya bekerja tidak hanya untuk makanan yang dapat binasa melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal (Yohanes 6:25-59). Bahkan kepada para penentang-Nya, eskalasi (tingkatan) ketegasan-Nya lebih tinggi dan lebih tajam dibanding kepada yang lain.

Dalam suatu peristiwa dimana orang-orang Farisi dan Saduki meminta Yesus supaya Ia memperlihatkan suatu tanda dari sorga kepada mereka, lalu Yesus menyatakan ketegasan dengan tajam bahwa kepada angkatan yang jahat dan tidak setia seperti mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus (Matius 16:1-4).

Jadi dengan siapapun Dia berhadapan dan kapanpun waktunya, dimanapun tempatnya dan bagaimana keadaannya bahwa sikap tegas tapi tidak kasar, tidak pernah terabaikan dalam kepemimpinan-Nya.